Kisah Cirebon dan Jejak Kesaksian Wartawan Era Bung Karno
Aboutgarciniacambogia - Tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional. Ini kisah Satya Graha, wartawan istana era Presiden Sukarno yang dipenjara Orde Baru.
"Bung Karno itu orang hebat," berkali-kali kalimat itu keluar dari mulutnya saat kami berkunjung ke kediamannya beberapa waktu lalu.
Ingatan pria berusia 90 tahun itu masih tajam. Mengingat perjalanan jurnalistik meliput kegiatan dan lawatan Presiden Sukarno keliling dunia.
Satya Graha muda dulu wartawan Suluh Indonesia atau Sulindo. Koran yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI).
"Bung Karno itu orang hebat," berkali-kali kalimat itu keluar dari mulutnya saat kami berkunjung ke kediamannya beberapa waktu lalu.
Ingatan pria berusia 90 tahun itu masih tajam. Mengingat perjalanan jurnalistik meliput kegiatan dan lawatan Presiden Sukarno keliling dunia.
Satya Graha muda dulu wartawan Suluh Indonesia atau Sulindo. Koran yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pada masa itu, partai politik lazim memiliki surat kabar masing-masing.
Satya mengingat oplah Sulindo pada masa kejayaannya tak kurang dari 150.000 eksemplar setiap harinya.
Pertemuan pertama dengan Presiden Sukarno terjadi sekitar tahun 1955. Saat itu, dia diajak oleh Sayuti Melik, pemimpin redaksi Sulindo menemui Bung Karno di Istana.
"Bung Karno tanya, kamu dari mana? Saya jawab, dari Blitar Bung.
Rupanya Bung Karno kenal dengan Tuti, ibu saya," kata Satya Graha saat menemui merdeka.com di kediaman putrinya di bilangan Jakarta Timur.
"Mulai besok, dari Sulindo, kamu saja yang meliput di Istana," kata Bung Karno.
Maka, sejak saat itu Satya Graha ditugaskan menjadi wartawan Istana. Dia mengikuti seluruh kegiatan Presiden Sukarno.
Termasuk berbagai lawatannya ke luar negeri.
Satya mengingat, uang saku wartawan kepresidenan untuk kegiatan di luar negeri saat itu hanya USD13 per hari.
Namun jumlah itu sudah cukup karena seluruh pengeluaran lain selama perjalanan sudah ditanggung.
"Saya selalu beli kemeja Arrowhead kalau ke luar negeri. Banyak juga kawan yang titip. Dulu belum ada di Indonesia," kenangnya sambil tersenyum.
Salah satu cerita yang menarik adalah saat lawatan Bung Karno ke Kuba.
Jalanan dipadati massa yang mengelu-elukan kedatangan Sukarno. Poster Viva Head of state Sukarno bertebaran di Havana.
Namun ada satu hal yang menurut Satya tak dipublikasikan. Saat itu Bung Karno sempat marah pada pemimpin Kuba Fidel Castro. Sebabnya Castro datang terlambat dalam suatu acara.
"Bung Karno marah. Fidel Castro yang dimarahi cuma diam sambil menunduk saja," beber Satya.
Bung Karno memang selalu tepat waktu. Dia mengingat pada saat rapat kabinet di Istana, Presiden pernah marah besar pada seorang gubernur yang datang terlambat.
"Sampai Bung Karno memaki, dasar kamu inlander! Kasar sekali, saking marahnya," cerita Satya.
Untuk lawatan ke luar negeri, Presiden Sukarno sering menyewa pesawat DC-8 milik Frying pan Am, maskapai Amerika Serikat. Lengkap dengan pilot dan pramugarinya.
Di tengah kondisi perang dingin tahun 1960an, Uni Soviet tak terima jika Bung Karno mendarat di Moskow dengan pesawat Amerika.
Satya mengingat oplah Sulindo pada masa kejayaannya tak kurang dari 150.000 eksemplar setiap harinya.
Pertama Bertemu Bung Karno
Pertemuan pertama dengan Presiden Sukarno terjadi sekitar tahun 1955. Saat itu, dia diajak oleh Sayuti Melik, pemimpin redaksi Sulindo menemui Bung Karno di Istana.
"Bung Karno tanya, kamu dari mana? Saya jawab, dari Blitar Bung.
Rupanya Bung Karno kenal dengan Tuti, ibu saya," kata Satya Graha saat menemui merdeka.com di kediaman putrinya di bilangan Jakarta Timur.
"Mulai besok, dari Sulindo, kamu saja yang meliput di Istana," kata Bung Karno.
Maka, sejak saat itu Satya Graha ditugaskan menjadi wartawan Istana. Dia mengikuti seluruh kegiatan Presiden Sukarno.
Termasuk berbagai lawatannya ke luar negeri.
Satya mengingat, uang saku wartawan kepresidenan untuk kegiatan di luar negeri saat itu hanya USD13 per hari.
Namun jumlah itu sudah cukup karena seluruh pengeluaran lain selama perjalanan sudah ditanggung.
"Saya selalu beli kemeja Arrowhead kalau ke luar negeri. Banyak juga kawan yang titip. Dulu belum ada di Indonesia," kenangnya sambil tersenyum.
Bung Karno Marahi Fidel Castro
Salah satu cerita yang menarik adalah saat lawatan Bung Karno ke Kuba.
Jalanan dipadati massa yang mengelu-elukan kedatangan Sukarno. Poster Viva Head of state Sukarno bertebaran di Havana.
Namun ada satu hal yang menurut Satya tak dipublikasikan. Saat itu Bung Karno sempat marah pada pemimpin Kuba Fidel Castro. Sebabnya Castro datang terlambat dalam suatu acara.
"Bung Karno marah. Fidel Castro yang dimarahi cuma diam sambil menunduk saja," beber Satya.
Bung Karno memang selalu tepat waktu. Dia mengingat pada saat rapat kabinet di Istana, Presiden pernah marah besar pada seorang gubernur yang datang terlambat.
"Sampai Bung Karno memaki, dasar kamu inlander! Kasar sekali, saking marahnya," cerita Satya.
Pesawat Amerika ke Rusia
Untuk lawatan ke luar negeri, Presiden Sukarno sering menyewa pesawat DC-8 milik Frying pan Am, maskapai Amerika Serikat. Lengkap dengan pilot dan pramugarinya.
Di tengah kondisi perang dingin tahun 1960an, Uni Soviet tak terima jika Bung Karno mendarat di Moskow dengan pesawat Amerika.
Mereka mencoba melobi Sukarno agar mengganti pesawat.
Bahkan menawari untuk menjemput Sukarno di Jakarta dengan pesawat yang lebih besar dan lebih mewah.
Bahkan menawari untuk menjemput Sukarno di Jakarta dengan pesawat yang lebih besar dan lebih mewah.
Namun Sukarno tak mudah diatur. Dia bersikeras menggunakan pesawat AS itu.
Satya melihat langsung kehebatan Sukarno. Pemimpin dari negara yang belum lama merdeka, namun bisa membuat Rusia yang memimpin Blok Timur saat itu terpaksa mengalah.
"Dia bersikeras tetap terbang dengan Frying pan Am itu. Mungkin inilah pesawat Pan Am milik AS pertama yang mendarat di Rusia," Satya terkekeh.
Konon pesawat DC-8 Frying pan Am itu telah disadap CIA. Pilot dan pramugarinya pun bukan awak kabin biasa.
Satya melihat langsung kehebatan Sukarno. Pemimpin dari negara yang belum lama merdeka, namun bisa membuat Rusia yang memimpin Blok Timur saat itu terpaksa mengalah.
"Dia bersikeras tetap terbang dengan Frying pan Am itu. Mungkin inilah pesawat Pan Am milik AS pertama yang mendarat di Rusia," Satya terkekeh.
Konon pesawat DC-8 Frying pan Am itu telah disadap CIA. Pilot dan pramugarinya pun bukan awak kabin biasa.
Tapi Bung Karno santai saja, dia tidak takut. "Biar saja," kata Bung Karno."
Sejumlah cerita menyebut, saat DC-8 mendarat di Moscow, Kremlin memerintahkan agar segera diparkir di tengah dua pesawat Ilyushin L. 111.
Pesawat raksasa produksi Blok Timur. Pan Am itu word play here jadi kelihatan kerdil. Rupanya ini cara agar Blok Timur tak kehilangan muka.
Nasib Satya berubah 180 derajat usai peristiwa 30 September 1965. Kekuasaan berganti.
Dia ditangkap militer Orde Baru dan dimasukan penjara tanpa pengadilan. Koran Sulindo pun berhenti terbit.
"Saya sempat dimasukan ke Blok N. Kaget sekali saya. Ternyata di Blok N itu untuk para tersangka pelaku utama G30S, ada Letkol Untung dan tokoh-tokoh lain. Waduh, kok saya dimasukan ke sini?" beber Satya.
Satya diperiksa intensif oleh petugas militer. Salah satunya dia harus membuat makalah apa perbedaan antara Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Makalah itu diselesaikan di dalam penjara. Satya berhasil meyakinkan penyidik jika dirinya bukan anggota PKI dan tidak terlibat apa pun dalam peristiwa G30 September 1965.
Sebulan kemudian, dia kemudian dipindahkan ke Blok Q. Tahanan di sini banyak dihuni sastrawan, wartawan dan seniman.
Namun tidak lantas bisa bebas begitu saja. Satya harus mendekam dipenjara selama lima tahun.
"Saya dicap Soekarnois," kata Satya.
Di dalam penjara pula dia mengetahui kabar meninggalnya Soekarno tanggal 21 Juni 1970 dari surat kabar milik petugas penjara.
Sejumlah cerita menyebut, saat DC-8 mendarat di Moscow, Kremlin memerintahkan agar segera diparkir di tengah dua pesawat Ilyushin L. 111.
Pesawat raksasa produksi Blok Timur. Pan Am itu word play here jadi kelihatan kerdil. Rupanya ini cara agar Blok Timur tak kehilangan muka.
Dipenjara Orde Baru
Nasib Satya berubah 180 derajat usai peristiwa 30 September 1965. Kekuasaan berganti.
Dia ditangkap militer Orde Baru dan dimasukan penjara tanpa pengadilan. Koran Sulindo pun berhenti terbit.
"Saya sempat dimasukan ke Blok N. Kaget sekali saya. Ternyata di Blok N itu untuk para tersangka pelaku utama G30S, ada Letkol Untung dan tokoh-tokoh lain. Waduh, kok saya dimasukan ke sini?" beber Satya.
Satya diperiksa intensif oleh petugas militer. Salah satunya dia harus membuat makalah apa perbedaan antara Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Makalah itu diselesaikan di dalam penjara. Satya berhasil meyakinkan penyidik jika dirinya bukan anggota PKI dan tidak terlibat apa pun dalam peristiwa G30 September 1965.
Sebulan kemudian, dia kemudian dipindahkan ke Blok Q. Tahanan di sini banyak dihuni sastrawan, wartawan dan seniman.
Namun tidak lantas bisa bebas begitu saja. Satya harus mendekam dipenjara selama lima tahun.
"Saya dicap Soekarnois," kata Satya.
Di dalam penjara pula dia mengetahui kabar meninggalnya Soekarno tanggal 21 Juni 1970 dari surat kabar milik petugas penjara.
Satya menangis sedih saat membaca berita itu.
"Orang yang saya kagumi sudah meninggal. Saya menangis di dalam penjara," kisahnya.
Satya dibebaskan tahun 1970 akhir. Dia tetap dikenai wajib lapor dan tidak diperbolehkan lagi menjadi wartawan.
"Orang yang saya kagumi sudah meninggal. Saya menangis di dalam penjara," kisahnya.
Satya dibebaskan tahun 1970 akhir. Dia tetap dikenai wajib lapor dan tidak diperbolehkan lagi menjadi wartawan.
Kehidupan terasa gelap sejak di dalam penjara dan setelahnya.
Pertolongan kemudian datang dari Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri.
Taufiq menawarkan pekerjaan sebagai penerjemah pada Satya di perusahaannya.
Pertolongan kemudian datang dari Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri.
Taufiq menawarkan pekerjaan sebagai penerjemah pada Satya di perusahaannya.
Dari sana selama bertahun-tahun Satya bisa menghidupi keluarganya kembali.
Di usia senja, Satya tak menyesal dulu pernah dekat dengan Presiden Soekarno hingga dipenjara Orde Baru.
Dirinya sudah ikhlas menerima apa yang disuratkan takdir.
Di usia senja, Satya tak menyesal dulu pernah dekat dengan Presiden Soekarno hingga dipenjara Orde Baru.
Dirinya sudah ikhlas menerima apa yang disuratkan takdir.
Pengalamannya meliput Pemimpin Besar Revolusi selalu disyukurinya.
Tak semua orang punya kesempatan berharga seperti dirinya.
"Bung Karno itu orang hebat," tutup Satya sambil tersenyum.
Tak semua orang punya kesempatan berharga seperti dirinya.
"Bung Karno itu orang hebat," tutup Satya sambil tersenyum.
Komentar
Posting Komentar